Senin, 28 Februari 2011

RENGKONG

Seni Tari Seni Musik Weaving Seni Batik Seni Ukir Seni Bela Diri Teater Rakyat Permainan Rakyat
Upacara Lingkaran Hidup Upacara Adat Lain
Naskah Kuno Book Review Ungkapan Tradisional Cerita Rakyat Humor
Senjata Tradisional Peralatan Berburu Peralatan Beternak Peralatan Nelayan Peralatan Pertanian Peralatan Kerajinan Peralatan Rumah Tangga Peralatan Kesenian Peralatan Upacara Peralatan Transportasi Peralatan Komunikasi
Laki-laki Perempuan Perkumpulan
Hukum Adat Selayang Pandang Pengobatan Tradisional Traditional Dress Religion Arsitektur
Browse » Home » Seni Musik » Rengkong (Kesenian Tradisional Masyarakat Cianjur, Jawa Barat)
Rengkong (Kesenian Tradisional Masyarakat Cianjur, Jawa Barat)
1. Asal-usul
Cianjur adalah salah satu kabupaten yang secara administratif termasuk dalam Kabupaten Cianjur. Masyarakatnya sebagian besar beragama Islam dan pada umumnya menggantungkan hidupnya dari bercocok tanam. Di daerah ini, tepatnya di Kampung Kandangsapi, Desa Cisarandi, Kecamatan Warungkondang ada sebuah kesenian tradisional yang bernama “rengkong”. Asal-usul kesenian ini bermula dari pemindahan padi huma (ladang) ke saung (lumbung padi). Masyarakat Jawa Barat pada umumnya, termasuk masyarakat Warungkondang (Cianjur), di masa lalu --sebelum mengenal bercocok tanam padi di sawah (sistem irigarasi)-- pada umumnya adalah sebagai peladang (ngahuma) yang berpindah-pindah. Padi ladang yang telah dituai tentunya tidak dibiarkan di ladang, tetapi mesti dibawa pulang. Mengingat bahwa jarak antara areal ladang dan pemukiman (rumah peladang) relatif jauh, maka diperlukan suatu alat untuk membawanya, yaitu pikulan yang terbuat dari bambu. Mereka menyebutnya sebagai “awi gombong”. Pikulan yang diberi beban padi kurang lebih 25 kilogram yang diikat dengan injuk kawung (tali ijuk) ini jika dibawa akan menimbulkan suara atau bunyi yang dihasilkan dari gesekan antara tali ijuk dan batang pikulan itu sendiri. Dan, bunyi yang dihasilkan menyerupai suara burung rangkong (sejenis angsa). Oleh karena itu, ketika bunyi yang dihasilkan dari gesekan antara tali ijuk dan pikulan dikembangkan menjadi sebuah jenis kesenian disebut “rengkong”.

Konon, kesenian rengkong ini dikenal oleh masyarakat Warungkondang, khususnya masyarakat Kampung Sukaratu, Desa Cisarandi, sejak akhir abad ke-19. Adupan orang memperkenalkan dan atau mengembangkannya adalah Said (almarhum). Di kampung lain (Sukaratu) dikembangkan oleh seorang pengusaha genteng (1920--1967). Jadi, beban yang semula berupa padi diganti dengan genteng. Sedangkan, di Kampung Kandangsapi dikembangkan oleh Sopian sejak tahun 1967.

2. Peralatan
Peralatan yang diperlukan untuk mewujudkan kesenian yang disebut sebagai rengkong ini adalah peralatan yang menghasilkan bunyi rengkong itu sendiri dengan berbagai ukuran (ada yang besar dan kecil). Peralatan itu terdiri dan atau terbuat dari pikulan, tambang ijuk, padi, dan minyak tanah. Pikulan terbuat dari dari sebatang awi gombong (bambu gombong) yang tipis dengan panjang 2 atau 2,5 meter. Ujung yang satu dan lainnya terbuka (tidak tertutup oleh ruas bambu). Kemudian, kurang lebih 30 centimeter dari ujung-ujungnya dilubangi (menyerupai kentongan) sepanjang kurang lebih 38 centimeter. Tambang ijuk yang panjangnya 2 sampai 2,5 meter berfungsi sebagai pengikat padi padi yang akan digantungkan pada sebatang awi gombong yang berfungsi sebagai pikulan. Kemudian, padi yang beratnya 20—25 kilogram sebagai beban pikulan. Lebih dari itu dikhawatirkan pikulan akan patah. Dan, minyak tanah berfungsi sebagai pengesat gesekan antara tali dan pikulan, sehingga gesekan menghasilkan bunyi yang nyaring. Peralatan lainnya adalah dodog dan angkung buncis.

3. Pemain dan Busana
Jumlah pemain rengkong secara keseluruhan ada 14 orang dengan rincian: 2 orang sebagai pembawa rengkong besar; 3 orang sebagai pembawa rengkong kecil; 4 orang sebagai pemain dodog, yaitu dodog: tingrit, tongsong, brung-brung, dan gedeblag; dan pemain angklung buncis yang terdiri atas 5 orang. Sedangkan, busana atau pakaian yang dikenakan adalah pakaian tradisional yang berupa: kampret atau pangsi, ikat kepala, dan sarung.

4. Pementasan
Kesenian rengkong yang ada di Warungkondang ini biasanya hanya dipentaskan dalam rangka memeriahkan hari-hari besar agama dan atau nasional (17 Agustusan) dalam bentuk arak-arakan. Dalam sebuah pementasan biasanya pemain rengkong yang berjumlah 5 orang berada di barisan depan. Kemudian, diikuti oleh para pemain angklung buncis dan para pemain dodog. Namun demikian, adakalanya pementasan dikemas secara kolektif. Artinya, para pemain boleh bergerak kemana saja (bercampur jadi satu).

5. Fungsi
Ketika rengkong belum dikembangkan menjadi sebuah jenis kesenian, ia semata-mata hanya berfungsi sebagai pengalihan perhatian dari seseorang yang membawa beban (padi) dengan cara dipikul. Dalam hal ini gesekan antara tali pikulan dan pikulan dimanfaatkan sebagai irama pengiring, sehingga beban yang relatif berat tidak begitu dirasakan karena karena diiringi oleh bunyi-bunyian yang khas. Dan, ketika rengkong menjadi sebuah jenis kesenian fungsinya juga tidak jauh berbeda, yaitu sebagai hiburan.

Sebagai catatan, kesenian yang disebut sebagai rengkong ini tidak hanya ada di daerah Cianjunr semata, tetapi juga di daerah Sukabumi dan Banten. Bedanya, di kedua daerah tersebut rengkong tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi ada fungsi lain yang melatarbelakanginya, yaitu ungkapan terima kasih kepada Dewi padi yang telah memberikan kesejahteraan berupa panen yang melimpah. Oleh karena itu, rengkong selalu ditampilkan dan kegiatan atau upacara penyimpanan padi ke lumbung.

6. Nilai Budaya
Kesenian adalah ekspresi jiwa manusia yang terwujud dalam keindahan. Oleh karena itu, kesenian apapun termasuk kesenian rengkong yang didukung dengan peralatan sederhana, mengandung nilai estetika (keindahan). Namun demikian, jika dikaji secara teliti kesenian yang disebut sebagai rengkong ini tidak hanya mengandung nilai estetika saja, tetapi ada nilai-nilai lainnya yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai itu antara lain adalah kerja keras dan kerjasama. Nilai kerja keras tercermin dalam membunyikan suara khas yang dihasilkan dari gesekan antara tali ijuk dan pikulan. Ini artinya, padi dengan berat tertentu dipikul. Dan, ini tentunya memerlukan kerja keras. Kemudian, nilai kerja sama tercermin dalam pementasan. Dalam hal ini tanpa kerja sama yang baik mustahil pementasan dapat berjalan dengan baik dan lancar. Malahan, ada nilai lainnya (religius) sebagaimana yang ditunjukkan oleh masyarakat Sukabumi dan Banten.


Selasa, 28 Desember 2010

BuNCIS

SENI BUNCIS DI BANYUMAS: Ekspresi Estetik Dalam Kekalutan

September 24, 2008 pada 5:22 am (Warta Banyumasan)
Pertunjukan Seni Buncis di Banyumas

Buncis di Banyumas bukan sekedar nama sayuran untuk lauk-pauk. Buncis juga menjadi nama salah satu kesenian local setempat. Kesenian ini tersaji dalam bentuk seni pertunjukan rakyat. Pemain terdiri dari delapan orang yang menari sambil menyanyi, sekaligus menjadi musisinya. Dalam sajiannya keseluruhan pemain mengenakan kostum berupa kain yang dibuat menyerupai rumbai-rumbai menutup aurat. Sedangkan di kepalanya dikenakan mahkota yang terbuat dari rangkaian bulu ayam. Dengan kostum yang demikian inilah kemudian menjadikan seni buncis lazim disebut dengan istilah ‘dayak-dayakan’ yang berarti menyerupai kostum suku Dayak di Kalimantan.

Para pemain dalam pertunjukannya membawa alat musik angklung berlaras slendro. Masing-masing membawa satu buah alat musik yang berisi satu jenis nada yang berbeda. Enam orang di antaranya memegang alat bernada 2 (ro), 3 (lu), 5 (ma), 6 (nem) 1 (ji tinggi) dan 2 (ro tinggi). Dua orang yang lain memegang instrument kendhang dan gong bumbung. Dalam membangun sajian musical, masing-masing pemain menjalankan fungsi nada sesuai dengan alur lagu balungan gendhing. Dari permainan alat-alat musik yang demikian, mereka mampu menyajikan gendhing-gendhing Banyumasan.

Hingga saat ini seni buncis masih bertahan hidup di wilayah kecamatan Somagede, tepatnya di Desa Tanggeran, Klinting, dan Sokawera. Semua berjumlah empat kelompok, yaitu di Tanggeran terdapat dua kelompok, Klinting (satu kelompok), dan Sokawera (satu kelompok). Hingga dasawarsa 1970-an, buncis masih bias ditemukan di wilayah kecamatan Kemranjen dan Kebasen. Namun seiring dengan perubahan jaman dari era tradisional-agraris ke modern-teknologis, keberadaan seni buncis di kedua kecamatan ini berangsur-angsur mengalami kepunahan.

Kisah Perjuangan sebagai Awal Lahirnya Seni Buncis

Keberadaan seni buncis erat dengan perjuangan menentang kolonialis Belanda yang dilakukan oleh masyarakat Banyumas dan sekitarnya. Semenjak berakhirnya perang Diponegoro tahun 1830, wilayah Banyumas dilego oleh Pemerintah Kraton Surakarta Hadiningrat kepada Hindia-Belanda sebagai pampas an perang. Hal ini terjadi karena Kasunanan Surakarta Hadiningrat menjadi pihak yang kalah, sementara Pemerintah Hindia-Belanda sebagai pihak pemenang menderita kerugian material yang cukup besar. Banyumas sebagai wilayah kekuasaan Surakarta Hadiningrat saat itu kemudian dijadikan sebagai pampasan perang dengan harapan Pemerintah Hindia-Belanda segera dapat mendapatkan kembali kerugian material yang telah diderita.

Perubahan segera terjadi. Wilayah Banyumas dijadikan sebagai salah satu sentra perkebunan yang sangat produktif. Tercatat di wilayah ini didirikan pabrik pemintalan dan kilang minyak di wilayah Cilacap serta Pusat Listrik Tenaga Air (PLTA) dan peternakan di wilayah Baturraden, Banyumas. Di wilayah ini dibangun pula pabrik gula sebanyak lima buah, yaitu di Klampok (Banjarnegara), dan Purbalingga, serta Kalibagor, Purwokerto, dan Ajibarang (Banyumas). Hasil di wilayah Banyumas konon mencapai 1/3 dari keseluruhan penghasilan yang diperoleh Pemerintah Hindia-Belanda di nusantara.

Berakhirnya perang Diponegoro ternyata tidak menyurutkan perlawanan dari para pejuang di wilayah Banyumas. Mereka umumnya mengungsi di gunung-gunung dan hutan-hutan agar tidak ditangkap musuh. Ada pula di antara mereka yang berbaur dengan masyarakat pedesaan, memperistri gadis setempat dan menetap di desa itu. Ada pula yang berkelana dari kampung ke kampung sebagai pengelana (orang Banyumas menyebutnya kaum maulana).

Sebagian pejuang yang memiliki kreativitas estetik pun berkesenian untuk menghibur diri. Salah satu kesenian yang dihasilkan adalah seni buncis. Konon kata ‘buncis’ merupakan jarwo dhosok yang berarti ‘bundhelan cis’. ‘Bundhelan’ dapat diartikan simpul, patron atau sesuatu yang dianggap bermakna, sesuatu yang harus dipegang teguh. Sedangkan ‘cis’ berarti perkataan yang keluar dari lisan. ‘Buncis’ dapat diartikan secara luas sebagai kata-kata para leluhur yang harus dipegang teguh, dijadikan sebagai dasar dalam perikehidupan. Lalu kata-kata apa yang dimaksud? Adalah kata-kata pemimpin perjuangan mereka; Pangeran Diponegoro. Bahwa ibarat ‘sedumuk bathuk senyari bumi’, jika harkat dan martabat kemanusiaan direndahkan serta sejengkal tanah wutah getih dikuasai orang lain’ maka harus dipertahankan hingga titik darah penghabisan. Demikianlah spirit keakuan ini terus dikobarkan untuk menggugah semangat juang para prajurit. Seni buncis pun kemudian dijadikan sebagai alat perjuangan. Buncis menjadi spirit untuk membangkitkan gairah mempertahankan bumi nusantara dari cengkeraman penjajah Belanda. Melalui spirit inilah, perjuangan terus dikobarkan hingga mencapai kemerdekaan pada tahun 1945.

Buncis sebagai Media Ekspresi Estetis

Apa yang dijumpai dalam pertunjukan buncis adalah sebuah ragam seni pertunjukan yang tampil seadanya. Penari dapat dengan bebas berekspresi melalui ragam gerak tarian sesuai dengan pengalaman estetik tiap-tiap pemain. Satu hal yang menjadi ciri utama adalah ragam gerak tarian dengan pola-pola gagahan. Ini mungkin terjadi karena fonding fathersnya adalah para pejuang yang tentu saja sangat terapresiasi dengan spirit kegagahan para syuhada. Ekspresi sikap gagah ini diungkapkan melalui ragam gerak tarian rakyat yang dapat dijumpai pula pada seni ebeg, barongan, ujungan, dan sejenisnya.

Kostum yang dipakai tidak mencerminkan pertunjukan panggung yang secara khusus dibuat untuk menciptakan kekaguman penanonton pada patron, pola, bentuk maupun warna. Kostum yang dikenakan dalam pertunjukan buncis lebih menyiratkan bahwa mereka dalam kondisi sangat melarat. Dengan riasan berupa arang yang dibalurkan ke seluruh wajah hingga tubuh, para pemain yang tengah mengenakan kostum lebih mirip suku pedalaman yang belum mengenal peradaban. Sepintas memang mirip dengan pakaian suku Dayak di Kalimantan, maka tidak salah jika mereka kemudian disebut ‘dayak-dayakan’. Jika dilihat dari sisi kostum tersebut, justru dapat diperoleh gambaran betapa seni buncis seperti disengaja untuk tidak tampil gebyar. Ini terjadi karena buncis lahir di kalangan para buron yang sewaktu-waktu ditangkap atau lari menghindari penangkapan.

Sajian musikal yang dibangun melalui instrumen angklung cenderung memiliki pola-pola sajian yang demikian terbatas. Dari keenam instrumen angklung yang ada, lima instrumen di antaranya ditabuh dengan cara dikocok atau digoyang untuk menyajikan balungan gendhing. Hanya satu instrumen yang disajikan secara terpola, yaitu nada 2 (ro tinggi) yang dikocok terus-menerus di sela-sela sajian instrumen lain. Mereka menyebut pola tabuhan instrumen ini adalah ‘ngecruki’. Instrumennya pun kemudian disebut ‘kecruk’. Instrumen gong disajikan pada setiap akhir seleh terberat dari keseluruhan alur lagu gendhing. Adapun instrumen kendhang selain berfungsi sebagai pengendali permainan tempo dan irama, juga memiliki sekaran-sekaran tertentu yang berkiblat pada karawitan gagrag Banyumasan. Pola demikian lazim dijumpai pada tradisi karawitan di Banyumas yang disajikan melalui berbagai perangkat musik, seperti gamelan, calung, krumpyung, kaster, gumbeng, bendhe, dan kaster. Ragam gendhing yang biasa disajikan dalam pertunjukan buncis antara lain: Eling-eling, Ricik-ricik, Kulu-Kulu, Blendrong Kulon, Renggong Manis, Pacul Gowang, Gudril, Man Dhoplang, Kicir-kicir, Tlutur, dan sejenisnya.

Pertunjukan buncis tidak membutuhkan tempat khusus. Kesenian ini hanya membutuhkan arena yang lebar yang memungkinkan digunakan sebagai tempat berkiprah para pemain. Oleh karena itu, buncis lazim disajikan di tanah lapang atau halaman rumah. Di arena semacam inilah para pemain mengekspresikan pengalaman estetik mereka ke dalam bentuk sajian yang bebas, gagah, semangat, dan gembira.

Pada pertengahan hingga akhir sajian, para pemain biasanya mengalami intrance atau mendem (wuru). Kebiasaan demikian adalah hal yang umum dilakukan dalam pertunjukan tradisional di Banyumas. Hampir semua ragam pertunjukan tradisional di daerah ini menyajikan sesi intrance pada pertengahan hingga akhir sajian. Ragam-ragam kesenian tradisional Banyumas yang menyajikan intrance antara lain: lengger, buncis, ebeg, aplang, angguk, aksi mudha, braen, dan laisan (sintran). Adanya sesi intrance di sini bukan saja karena masyarakat Banyumas mengenal indhang sebagai roh leluhur yang diyakini menjadi spirit pertunjukan, tetapi juga hal tersebut sebagai sebuah fenomena totalitas para pemain pada kesenian tradisional terhadap dunia yang digelutinya itu. Seorang pemain pada suatu ragam kesenian tradisional yang dalam pementasannya tidak mengalami intrance, umumnya dianggap belum total. Mereka mengatakan dengan istilah belum ‘ndadi’.

Jika benar seni buncis lahir di dalam ranah perjuangan mempertahankan bumi nusantara dari kerakusan penjajah, maka ini telah membuktikan bahwa ekspresi estetik hadir kapan saja, di mana saja dan dalam situasi apapun juga. Dalam sedih, gembira, susah, senang, kebutuhan rokhani akan keindahan estetik mutlak diperlukan. Di tengah ancaman terhadap kelangsungan hidupnya, para pejuang masih menyempatkan diri berkespresi melalui media kesenian. Buncis lalu menjadi sarana ungkap pengalaman empirik dan daya estetik para pejuang.

Ekspresi estetik melalui kesenian terbukti dapat dilakukan kapan saja dan dimana saja dalam ranah jangkauan ruang dan waktu. Seni buncis membuktikannya. Saat perang berlangsung pun kesenian ini mampu hadir sebagai bagian dari spirit perjuangan. Dalam situasi seperti ini tentu mereka tidak memiliki sarana-prasarana yang memenuhi syarat untuk sajian seni pertunjukan. Maka, digunakannlah bambu untuk alat musik, kain-kain bekas untuk kostum berbentuk rumbai-rumbai, dan bulu-bulu ayam sebagai mahkotanya.

Fenomena yang terjadi dalam pertunjukan buncis membuktikan bahwa keterbatasan bukanlah halangan bagi manusia untuk berekspresi. Justru keterbatasan akan mampu menggugah semangat untuk mengembangkan kreativitas. Hal ini sudah cukup banyak bukti yang dapat dilihat. Jepang mungkin tidak akan semaju sekarang ini, jika Hiroshima dan Nagasaki tidak pernah dibom atom oleh tentara sekutu. Demikian pula musik pop tidak akan mendunia seperti sekarang, jika kekuasaan gereja tidak membelenggu kreativitas bangsa Barat. Atau, tidak mungkin akan ditemukan vaksin jika tidak ada penyakit yang ditimbulkan oleh virus. Demikian seterusnya, hingga ditemukannya ragam teknologi yang dapat dilihat pada alat-alat musik tradisional di Banyumas yang diawali oleh ketidakadaan dan kemelaratan.

Buncis dalam Ranah Filsafat

Keberadaan buncis di Banyumas tidak lepas dari falsafah yang menjadi dasar dalam kehidupan masyarakat setempat. Jarwo dhosok buncis sebagai ‘bundhelan cis’ memiliki makna filosofi yang dalam terkait dengan pandangan hidup dan sistem kepercayaan masyarakat pendukungnya. Bahwa segala macam perkataan yang sudah terlontar melalui lisan, harus senantiasa dipegang teguh sebagai pedoman dalam langkah berikutnya. Hal ini disebabkan perkataan yang telah terucap laksana anak panah yang sudah lepas dari busurnya, tidak akan pernah bisa ditarik kembali. oleh karena itu apabila seseorang dalam hidupnya tidak memegang teguh perkataan yang telah terucap, maka dia akan berada dalam posisi tidak dipercaya oleh orang lain.

Dalam kepercayaan masyarakat Banyumas, mulut manusia seringkali menjadi media dari sabda Tuhan. Dalam situasi demikian sesungguhnya sedang terjadi kontemplasi, merasuknya kekuatan supernatural ke dalam badan wadag manusia. Istilah ‘Gusti Allah katon’ sangat populer di Banyumas yang menyiratkan bahwa manusia sewaktu-waktu tidak hadir sebagai pribadi yang mandiri. Kekuatan-kekuatan ghaib memungkinkan menyatu dengan dirinya, sehingga motif-motif perkataan seseorang bisa ‘numusi’ (menjadi kenyataan). Masyarakat Banyumas percaya seorang ibu memiliki kata-kata yang mengandung tuah tertentu (mandi) bagi anak-anaknya. Demikian pula kata-kata yang diucapkan oleh seseorang yang tengah dalam penderitaan sangat mungkin memiliki kekuatan ghaib yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup diri sendiri maupun orang-orang di sekelilingnya.

Banyak contoh yang dapat ditemukan di sini. Seorang ibu yang merasa sakit hati atas perbuatan anaknya, kemudian mengatakan bahwa kalau anaknya tidak menurut maka akan menemui celaka. Beberapa waktu kemudian anaknya pun mengalami celaka. Maka, seorang ibu tidak boleh mengatakan sesuatu yang buruk (ndhandhangi) terhadap anak-anaknya, karena hal itu menjadi kenyataan. Lain lagi, seseorang yang anaknya menderita sakit tiba-tiba mengatakan bahwa kalau anaknya sembuh akan ditanggapkan lengger. Setelah anaknya sembuh tetapi orang tua itu tidak segera menanggap lengger, maka anaknya menderita sakit lagi. Untuk menyembuhkan anak yang kembali sakit ini harus dilakukan dengan cara menanggap lengger. Inilah, kemudian ada istilah ‘kaul’, yaitu melaksanakan kata-kata yang sudah terucap di hari yang lalu; mbuang idu wayu atau ngluwari punagi.

Paham adanya kemungkinan hadirnya kekuatan supernatural melalui kata-kata yang terucap erat kaitannya dengan paham kosmologi masyarakat Banyumas. Kosmologi atau ilmu tenteng semesta alam menjadi dasar yang sangat kuat dalam diri setiap pribadi masyarakat yang berbingkai budaya Banyumas. Dalam hidupnya, manusia tidak sendirian. Dia hidup di bentangan alam yang luas dengan kekuatan-kekuatan supernatural yang tidak tampak dalam pandangan mata telanjang. Kekuatan tentang adanya Tuhan, indhang, leluhur, roh, jin, setan, memedi dan lain-lain ada dan melingkupi hidup manusia. Setiap kata yang meluncur dari lisan tidak hanya didengar oleh diri sendiri dan lawan bicaranya, tetapi juga oleh alam seisinya. Apabila seseorang dalam hidupnya sering berkata-kata yang tidak sesuai dengan kenyataan, maka dia akan kesiku, kewalat atau kenang sarik, yang menjadikan dirinya menemui kendala di hari esok. Satu-satunya cara agar selamat di hari depan, maka setiap orang harus berkata jujur sesuai dengan hati nuraninya. Paham demikian pada tahap tertentu hadir secara kultural dalam bentuk pola hidup ‘cablaka’, yaitu berkata terus terang apa yang dirasakan atau dipikirkan kepada orang lain di sekelilingnya. Pola hidup cablaka pada akhirnya menjadi dasar yang sangat kuat dalam hidup dan kehidupan masyarakat Banyumas secara keseluruhan.

Perkembangan Seni Buncis Dewasa Ini

Seperti halnya kesenian tradisional pada umumnya, perkembangan seni buncis di Banyumas mengalami pasang surut seiring dengan perubahan sosial dan kultural masyarakat pendukungnya. Jika pada masa lalu aneka ragam kesenian erat kaitannya dengan daya hidup manusia, maka pada dekade tahun 1960-an banyak digunakan untuk kendaraan politik oleh Rezim Orde Lama maupun Partai Komunis Indonesia. Carut-marut yang terjadi setelah terjadinya pemberontakan G 30 S/PKI di Indonesia berdampak secara nyata bagi keberadaan seni buncis di Banyumas. Sejak tahun 1965 seni buncis dilarang untuk tampil karena dicurigai menjadi kendaraan politik bagi PKI. Keadaan membaik sejak Pemerintah Orde Baru menegaskan pentingnya puncak-puncak kebudayaan daerah bagi kebudayaan nasional sebagaimana tertuang di dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Sejak itu pula berbagai ragam kesenian tradisional termasuk seni buncis mulai diijinkan untuk melakukan pertunjukan.

Namun perubahan sosio-kultural di Banyumas telah beranjak dari pola tradisional-agraris ke arah modern-teknologis. Kecenderungan yang terjadi masyarakat adalah berkembangnya pola hidup yang praktis-pragmatis dan instan. Paham kosmologi yang pada masa lalu begitu kuat berakar dalam kehidupan masyarakat Banyumas berangsur-angsur luntur dan tergantikan kebiasaan-kebiasaan manusia modern yang lebih didasari oleh cara berpikir yang logis dan realistis. Kehadiran seni buncis pun tidak lagi didasari oleh paham kosmologi, tetapi lebih diarahkan pada seni pertunjukan yang dijadikan sebagai media hiburan semata. Perubahan ini telah menyeret seni buncis ke dalam kancah persaingan global, harus mampu bertahan di antara dahsyatnya perkembangan produk-produk budaya massa dan seni pop. Keadaan pun menjadi semakin dipaksakan. Buncis dipaksa menjadi pertunjukan yang menghibur. Lalu dalam pertunjukannya selain menyajikan gendhing-gendhing Banyumasan harus pula menyajikan lagu-lagu pop yang tengah disukai masyarakat. Dengan hanya bermodalkan instrumen musik tradisional yang terbatas, pola tarian terbatas, rias-busana terbatas, tata panggung terbatas, dan SDM terbatas, akhirnya seni buncis kian tampil pucat pasi di antara maraknya perkembangan seni pop. Seni buncispun kian tergeser ke tepi, yang jika tidak diselamatkan tinggal menunggu waktu bukan tidak mungkin akan mengalami kepunahan.

Usaha penyelamatan memang terus dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Banyumas. Dewasa ini pemerintah setempat mulai menerapkan politik identitas dalam pembangunan kebudayaan lokal. Dengan cara demikian diharapkan berbagai kearifan lokal termasuk seni buncis dapat dikembangkan dan diarahkan untuk mewujudkan identitas kultur Banyumas yang berakar kerakyatan. Namun seberapa jauh efeknya terhadap eksistensi seni buncis? Kita bisa menunggu akhir dari episode kisah terakhir ini. Namun sesungguhnya kita tidak bijaksana jika hanya dalam posisi menunggu. Siapapun orangnya, yang merasa menjadi bagian dari kultur Banyumas sudah seharusnya ikut bersinergi, berperan serta dalam menggali, mengembangkan dan memberdayakan aneka ragam kearifan lokal yang ada guna menciptakan kebanggaan bagi masyarakat Banyumas terhadap ragam kebudayaan lokal miliknya.***



Pertunjukan Seni Buncis di Banyumas

Buncis di Banyumas bukan sekedar nama sayuran untuk lauk-pauk. Buncis juga menjadi nama salah satu kesenian local setempat. Kesenian ini tersaji dalam bentuk seni pertunjukan rakyat. Pemain terdiri dari delapan orang yang menari sambil menyanyi, sekaligus menjadi musisinya. Dalam sajiannya keseluruhan pemain mengenakan kostum berupa kain yang dibuat menyerupai rumbai-rumbai menutup aurat. Sedangkan di kepalanya dikenakan mahkota yang terbuat dari rangkaian bulu ayam. Dengan kostum yang demikian inilah kemudian menjadikan seni buncis lazim disebut dengan istilah ‘dayak-dayakan’ yang berarti menyerupai kostum suku Dayak di Kalimantan.

Para pemain dalam pertunjukannya membawa alat musik angklung berlaras slendro. Masing-masing membawa satu buah alat musik yang berisi satu jenis nada yang berbeda. Enam orang di antaranya memegang alat bernada 2 (ro), 3 (lu), 5 (ma), 6 (nem) 1 (ji tinggi) dan 2 (ro tinggi). Dua orang yang lain memegang instrument kendhang dan gong bumbung. Dalam membangun sajian musical, masing-masing pemain menjalankan fungsi nada sesuai dengan alur lagu balungan gendhing. Dari permainan alat-alat musik yang demikian, mereka mampu menyajikan gendhing-gendhing Banyumasan.

Hingga saat ini seni buncis masih bertahan hidup di wilayah kecamatan Somagede, tepatnya di Desa Tanggeran, Klinting, dan Sokawera. Semua berjumlah empat kelompok, yaitu di Tanggeran terdapat dua kelompok, Klinting (satu kelompok), dan Sokawera (satu kelompok). Hingga dasawarsa 1970-an, buncis masih bias ditemukan di wilayah kecamatan Kemranjen dan Kebasen. Namun seiring dengan perubahan jaman dari era tradisional-agraris ke modern-teknologis, keberadaan seni buncis di kedua kecamatan ini berangsur-angsur mengalami kepunahan.

Kisah Perjuangan sebagai Awal Lahirnya Seni Buncis

Keberadaan seni buncis erat dengan perjuangan menentang kolonialis Belanda yang dilakukan oleh masyarakat Banyumas dan sekitarnya. Semenjak berakhirnya perang Diponegoro tahun 1830, wilayah Banyumas dilego oleh Pemerintah Kraton Surakarta Hadiningrat kepada Hindia-Belanda sebagai pampas an perang. Hal ini terjadi karena Kasunanan Surakarta Hadiningrat menjadi pihak yang kalah, sementara Pemerintah Hindia-Belanda sebagai pihak pemenang menderita kerugian material yang cukup besar. Banyumas sebagai wilayah kekuasaan Surakarta Hadiningrat saat itu kemudian dijadikan sebagai pampasan perang dengan harapan Pemerintah Hindia-Belanda segera dapat mendapatkan kembali kerugian material yang telah diderita.

Perubahan segera terjadi. Wilayah Banyumas dijadikan sebagai salah satu sentra perkebunan yang sangat produktif. Tercatat di wilayah ini didirikan pabrik pemintalan dan kilang minyak di wilayah Cilacap serta Pusat Listrik Tenaga Air (PLTA) dan peternakan di wilayah Baturraden, Banyumas. Di wilayah ini dibangun pula pabrik gula sebanyak lima buah, yaitu di Klampok (Banjarnegara), dan Purbalingga, serta Kalibagor, Purwokerto, dan Ajibarang (Banyumas). Hasil di wilayah Banyumas konon mencapai 1/3 dari keseluruhan penghasilan yang diperoleh Pemerintah Hindia-Belanda di nusantara.

Berakhirnya perang Diponegoro ternyata tidak menyurutkan perlawanan dari para pejuang di wilayah Banyumas. Mereka umumnya mengungsi di gunung-gunung dan hutan-hutan agar tidak ditangkap musuh. Ada pula di antara mereka yang berbaur dengan masyarakat pedesaan, memperistri gadis setempat dan menetap di desa itu. Ada pula yang berkelana dari kampung ke kampung sebagai pengelana (orang Banyumas menyebutnya kaum maulana).

Sebagian pejuang yang memiliki kreativitas estetik pun berkesenian untuk menghibur diri. Salah satu kesenian yang dihasilkan adalah seni buncis. Konon kata ‘buncis’ merupakan jarwo dhosok yang berarti ‘bundhelan cis’. ‘Bundhelan’ dapat diartikan simpul, patron atau sesuatu yang dianggap bermakna, sesuatu yang harus dipegang teguh. Sedangkan ‘cis’ berarti perkataan yang keluar dari lisan. ‘Buncis’ dapat diartikan secara luas sebagai kata-kata para leluhur yang harus dipegang teguh, dijadikan sebagai dasar dalam perikehidupan. Lalu kata-kata apa yang dimaksud? Adalah kata-kata pemimpin perjuangan mereka; Pangeran Diponegoro. Bahwa ibarat ‘sedumuk bathuk senyari bumi’, jika harkat dan martabat kemanusiaan direndahkan serta sejengkal tanah wutah getih dikuasai orang lain’ maka harus dipertahankan hingga titik darah penghabisan. Demikianlah spirit keakuan ini terus dikobarkan untuk menggugah semangat juang para prajurit. Seni buncis pun kemudian dijadikan sebagai alat perjuangan. Buncis menjadi spirit untuk membangkitkan gairah mempertahankan bumi nusantara dari cengkeraman penjajah Belanda. Melalui spirit inilah, perjuangan terus dikobarkan hingga mencapai kemerdekaan pada tahun 1945.

Buncis sebagai Media Ekspresi Estetis

Apa yang dijumpai dalam pertunjukan buncis adalah sebuah ragam seni pertunjukan yang tampil seadanya. Penari dapat dengan bebas berekspresi melalui ragam gerak tarian sesuai dengan pengalaman estetik tiap-tiap pemain. Satu hal yang menjadi ciri utama adalah ragam gerak tarian dengan pola-pola gagahan. Ini mungkin terjadi karena fonding fathersnya adalah para pejuang yang tentu saja sangat terapresiasi dengan spirit kegagahan para syuhada. Ekspresi sikap gagah ini diungkapkan melalui ragam gerak tarian rakyat yang dapat dijumpai pula pada seni ebeg, barongan, ujungan, dan sejenisnya.

Kostum yang dipakai tidak mencerminkan pertunjukan panggung yang secara khusus dibuat untuk menciptakan kekaguman penanonton pada patron, pola, bentuk maupun warna. Kostum yang dikenakan dalam pertunjukan buncis lebih menyiratkan bahwa mereka dalam kondisi sangat melarat. Dengan riasan berupa arang yang dibalurkan ke seluruh wajah hingga tubuh, para pemain yang tengah mengenakan kostum lebih mirip suku pedalaman yang belum mengenal peradaban. Sepintas memang mirip dengan pakaian suku Dayak di Kalimantan, maka tidak salah jika mereka kemudian disebut ‘dayak-dayakan’. Jika dilihat dari sisi kostum tersebut, justru dapat diperoleh gambaran betapa seni buncis seperti disengaja untuk tidak tampil gebyar. Ini terjadi karena buncis lahir di kalangan para buron yang sewaktu-waktu ditangkap atau lari menghindari penangkapan.

Sajian musikal yang dibangun melalui instrumen angklung cenderung memiliki pola-pola sajian yang demikian terbatas. Dari keenam instrumen angklung yang ada, lima instrumen di antaranya ditabuh dengan cara dikocok atau digoyang untuk menyajikan balungan gendhing. Hanya satu instrumen yang disajikan secara terpola, yaitu nada 2 (ro tinggi) yang dikocok terus-menerus di sela-sela sajian instrumen lain. Mereka menyebut pola tabuhan instrumen ini adalah ‘ngecruki’. Instrumennya pun kemudian disebut ‘kecruk’. Instrumen gong disajikan pada setiap akhir seleh terberat dari keseluruhan alur lagu gendhing. Adapun instrumen kendhang selain berfungsi sebagai pengendali permainan tempo dan irama, juga memiliki sekaran-sekaran tertentu yang berkiblat pada karawitan gagrag Banyumasan. Pola demikian lazim dijumpai pada tradisi karawitan di Banyumas yang disajikan melalui berbagai perangkat musik, seperti gamelan, calung, krumpyung, kaster, gumbeng, bendhe, dan kaster. Ragam gendhing yang biasa disajikan dalam pertunjukan buncis antara lain: Eling-eling, Ricik-ricik, Kulu-Kulu, Blendrong Kulon, Renggong Manis, Pacul Gowang, Gudril, Man Dhoplang, Kicir-kicir, Tlutur, dan sejenisnya.

Pertunjukan buncis tidak membutuhkan tempat khusus. Kesenian ini hanya membutuhkan arena yang lebar yang memungkinkan digunakan sebagai tempat berkiprah para pemain. Oleh karena itu, buncis lazim disajikan di tanah lapang atau halaman rumah. Di arena semacam inilah para pemain mengekspresikan pengalaman estetik mereka ke dalam bentuk sajian yang bebas, gagah, semangat, dan gembira.

Pada pertengahan hingga akhir sajian, para pemain biasanya mengalami intrance atau mendem (wuru). Kebiasaan demikian adalah hal yang umum dilakukan dalam pertunjukan tradisional di Banyumas. Hampir semua ragam pertunjukan tradisional di daerah ini menyajikan sesi intrance pada pertengahan hingga akhir sajian. Ragam-ragam kesenian tradisional Banyumas yang menyajikan intrance antara lain: lengger, buncis, ebeg, aplang, angguk, aksi mudha, braen, dan laisan (sintran). Adanya sesi intrance di sini bukan saja karena masyarakat Banyumas mengenal indhang sebagai roh leluhur yang diyakini menjadi spirit pertunjukan, tetapi juga hal tersebut sebagai sebuah fenomena totalitas para pemain pada kesenian tradisional terhadap dunia yang digelutinya itu. Seorang pemain pada suatu ragam kesenian tradisional yang dalam pementasannya tidak mengalami intrance, umumnya dianggap belum total. Mereka mengatakan dengan istilah belum ‘ndadi’.

Jika benar seni buncis lahir di dalam ranah perjuangan mempertahankan bumi nusantara dari kerakusan penjajah, maka ini telah membuktikan bahwa ekspresi estetik hadir kapan saja, di mana saja dan dalam situasi apapun juga. Dalam sedih, gembira, susah, senang, kebutuhan rokhani akan keindahan estetik mutlak diperlukan. Di tengah ancaman terhadap kelangsungan hidupnya, para pejuang masih menyempatkan diri berkespresi melalui media kesenian. Buncis lalu menjadi sarana ungkap pengalaman empirik dan daya estetik para pejuang.

Ekspresi estetik melalui kesenian terbukti dapat dilakukan kapan saja dan dimana saja dalam ranah jangkauan ruang dan waktu. Seni buncis membuktikannya. Saat perang berlangsung pun kesenian ini mampu hadir sebagai bagian dari spirit perjuangan. Dalam situasi seperti ini tentu mereka tidak memiliki sarana-prasarana yang memenuhi syarat untuk sajian seni pertunjukan. Maka, digunakannlah bambu untuk alat musik, kain-kain bekas untuk kostum berbentuk rumbai-rumbai, dan bulu-bulu ayam sebagai mahkotanya.

Fenomena yang terjadi dalam pertunjukan buncis membuktikan bahwa keterbatasan bukanlah halangan bagi manusia untuk berekspresi. Justru keterbatasan akan mampu menggugah semangat untuk mengembangkan kreativitas. Hal ini sudah cukup banyak bukti yang dapat dilihat. Jepang mungkin tidak akan semaju sekarang ini, jika Hiroshima dan Nagasaki tidak pernah dibom atom oleh tentara sekutu. Demikian pula musik pop tidak akan mendunia seperti sekarang, jika kekuasaan gereja tidak membelenggu kreativitas bangsa Barat. Atau, tidak mungkin akan ditemukan vaksin jika tidak ada penyakit yang ditimbulkan oleh virus. Demikian seterusnya, hingga ditemukannya ragam teknologi yang dapat dilihat pada alat-alat musik tradisional di Banyumas yang diawali oleh ketidakadaan dan kemelaratan.

Buncis dalam Ranah Filsafat

Keberadaan buncis di Banyumas tidak lepas dari falsafah yang menjadi dasar dalam kehidupan masyarakat setempat. Jarwo dhosok buncis sebagai ‘bundhelan cis’ memiliki makna filosofi yang dalam terkait dengan pandangan hidup dan sistem kepercayaan masyarakat pendukungnya. Bahwa segala macam perkataan yang sudah terlontar melalui lisan, harus senantiasa dipegang teguh sebagai pedoman dalam langkah berikutnya. Hal ini disebabkan perkataan yang telah terucap laksana anak panah yang sudah lepas dari busurnya, tidak akan pernah bisa ditarik kembali. oleh karena itu apabila seseorang dalam hidupnya tidak memegang teguh perkataan yang telah terucap, maka dia akan berada dalam posisi tidak dipercaya oleh orang lain.

Dalam kepercayaan masyarakat Banyumas, mulut manusia seringkali menjadi media dari sabda Tuhan. Dalam situasi demikian sesungguhnya sedang terjadi kontemplasi, merasuknya kekuatan supernatural ke dalam badan wadag manusia. Istilah ‘Gusti Allah katon’ sangat populer di Banyumas yang menyiratkan bahwa manusia sewaktu-waktu tidak hadir sebagai pribadi yang mandiri. Kekuatan-kekuatan ghaib memungkinkan menyatu dengan dirinya, sehingga motif-motif perkataan seseorang bisa ‘numusi’ (menjadi kenyataan). Masyarakat Banyumas percaya seorang ibu memiliki kata-kata yang mengandung tuah tertentu (mandi) bagi anak-anaknya. Demikian pula kata-kata yang diucapkan oleh seseorang yang tengah dalam penderitaan sangat mungkin memiliki kekuatan ghaib yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup diri sendiri maupun orang-orang di sekelilingnya.

Banyak contoh yang dapat ditemukan di sini. Seorang ibu yang merasa sakit hati atas perbuatan anaknya, kemudian mengatakan bahwa kalau anaknya tidak menurut maka akan menemui celaka. Beberapa waktu kemudian anaknya pun mengalami celaka. Maka, seorang ibu tidak boleh mengatakan sesuatu yang buruk (ndhandhangi) terhadap anak-anaknya, karena hal itu menjadi kenyataan. Lain lagi, seseorang yang anaknya menderita sakit tiba-tiba mengatakan bahwa kalau anaknya sembuh akan ditanggapkan lengger. Setelah anaknya sembuh tetapi orang tua itu tidak segera menanggap lengger, maka anaknya menderita sakit lagi. Untuk menyembuhkan anak yang kembali sakit ini harus dilakukan dengan cara menanggap lengger. Inilah, kemudian ada istilah ‘kaul’, yaitu melaksanakan kata-kata yang sudah terucap di hari yang lalu; mbuang idu wayu atau ngluwari punagi.

Paham adanya kemungkinan hadirnya kekuatan supernatural melalui kata-kata yang terucap erat kaitannya dengan paham kosmologi masyarakat Banyumas. Kosmologi atau ilmu tenteng semesta alam menjadi dasar yang sangat kuat dalam diri setiap pribadi masyarakat yang berbingkai budaya Banyumas. Dalam hidupnya, manusia tidak sendirian. Dia hidup di bentangan alam yang luas dengan kekuatan-kekuatan supernatural yang tidak tampak dalam pandangan mata telanjang. Kekuatan tentang adanya Tuhan, indhang, leluhur, roh, jin, setan, memedi dan lain-lain ada dan melingkupi hidup manusia. Setiap kata yang meluncur dari lisan tidak hanya didengar oleh diri sendiri dan lawan bicaranya, tetapi juga oleh alam seisinya. Apabila seseorang dalam hidupnya sering berkata-kata yang tidak sesuai dengan kenyataan, maka dia akan kesiku, kewalat atau kenang sarik, yang menjadikan dirinya menemui kendala di hari esok. Satu-satunya cara agar selamat di hari depan, maka setiap orang harus berkata jujur sesuai dengan hati nuraninya. Paham demikian pada tahap tertentu hadir secara kultural dalam bentuk pola hidup ‘cablaka’, yaitu berkata terus terang apa yang dirasakan atau dipikirkan kepada orang lain di sekelilingnya. Pola hidup cablaka pada akhirnya menjadi dasar yang sangat kuat dalam hidup dan kehidupan masyarakat Banyumas secara keseluruhan.

Perkembangan Seni Buncis Dewasa Ini

Seperti halnya kesenian tradisional pada umumnya, perkembangan seni buncis di Banyumas mengalami pasang surut seiring dengan perubahan sosial dan kultural masyarakat pendukungnya. Jika pada masa lalu aneka ragam kesenian erat kaitannya dengan daya hidup manusia, maka pada dekade tahun 1960-an banyak digunakan untuk kendaraan politik oleh Rezim Orde Lama maupun Partai Komunis Indonesia. Carut-marut yang terjadi setelah terjadinya pemberontakan G 30 S/PKI di Indonesia berdampak secara nyata bagi keberadaan seni buncis di Banyumas. Sejak tahun 1965 seni buncis dilarang untuk tampil karena dicurigai menjadi kendaraan politik bagi PKI. Keadaan membaik sejak Pemerintah Orde Baru menegaskan pentingnya puncak-puncak kebudayaan daerah bagi kebudayaan nasional sebagaimana tertuang di dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Sejak itu pula berbagai ragam kesenian tradisional termasuk seni buncis mulai diijinkan untuk melakukan pertunjukan.

Namun perubahan sosio-kultural di Banyumas telah beranjak dari pola tradisional-agraris ke arah modern-teknologis. Kecenderungan yang terjadi masyarakat adalah berkembangnya pola hidup yang praktis-pragmatis dan instan. Paham kosmologi yang pada masa lalu begitu kuat berakar dalam kehidupan masyarakat Banyumas berangsur-angsur luntur dan tergantikan kebiasaan-kebiasaan manusia modern yang lebih didasari oleh cara berpikir yang logis dan realistis. Kehadiran seni buncis pun tidak lagi didasari oleh paham kosmologi, tetapi lebih diarahkan pada seni pertunjukan yang dijadikan sebagai media hiburan semata. Perubahan ini telah menyeret seni buncis ke dalam kancah persaingan global, harus mampu bertahan di antara dahsyatnya perkembangan produk-produk budaya massa dan seni pop. Keadaan pun menjadi semakin dipaksakan. Buncis dipaksa menjadi pertunjukan yang menghibur. Lalu dalam pertunjukannya selain menyajikan gendhing-gendhing Banyumasan harus pula menyajikan lagu-lagu pop yang tengah disukai masyarakat. Dengan hanya bermodalkan instrumen musik tradisional yang terbatas, pola tarian terbatas, rias-busana terbatas, tata panggung terbatas, dan SDM terbatas, akhirnya seni buncis kian tampil pucat pasi di antara maraknya perkembangan seni pop. Seni buncispun kian tergeser ke tepi, yang jika tidak diselamatkan tinggal menunggu waktu bukan tidak mungkin akan mengalami kepunahan.

Usaha penyelamatan memang terus dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Banyumas. Dewasa ini pemerintah setempat mulai menerapkan politik identitas dalam pembangunan kebudayaan lokal. Dengan cara demikian diharapkan berbagai kearifan lokal termasuk seni buncis dapat dikembangkan dan diarahkan untuk mewujudkan identitas kultur Banyumas yang berakar kerakyatan. Namun seberapa jauh efeknya terhadap eksistensi seni buncis? Kita bisa menunggu akhir dari episode kisah terakhir ini. Namun sesungguhnya kita tidak bijaksana jika hanya dalam posisi menunggu. Siapapun orangnya, yang merasa menjadi bagian dari kultur Banyumas sudah seharusnya ikut bersinergi, berperan serta dalam menggali, mengembangkan dan memberdayakan aneka ragam kearifan lokal yang ada guna menciptakan kebanggaan bagi masyarakat Banyumas terhadap ragam kebudayaan lokal miliknya.***


Senin, 27 Desember 2010

PENCAK SILAT

Pencak silat atau silat (berkelahi dengan menggunakan teknik pertahanan diri) ialah seni bela diri Asia yang berakar dari budaya Melayu. Seni bela diri ini secara luas dikenal di Indonesia, Malaysia, Brunei, dan Singapura tapi bisa pula ditemukan dalam berbagai variasi di berbagai negara sesuai dengan penyebaran suku Melayu, seperti di Filipina Selatan dan Thailand Selatan. Berkat peranan para pelatih asal Indonesia, saat ini Vietnam juga telah memiliki pesilat-pesilat yang tangguh.

Induk organisasi pencak silat di Indonesia adalah IPSI (Ikatan Pencak Silat Indonesia). Persilat (Persekutuan Pencak Silat Antara Bangsa), adalah nama organisasi yang dibentuk oleh Indonesia, Singapura, Malaysia dan Brunei Darussalam untuk mewadahi federasi-federasi pencak silat di berbagai negara.




BENJANG

Benjang


Benjang adalah salah satu beragamnya seni pertunjukan yang bersal dari Kabupaten Bandung yang awalnya sebagai ketangkasan para jawara yang berkembang menjadi seni pertunjukan yang didalamnya terdapat unsur-unsur penunjang dalam pertujukan diantaranya adanya pemain yang tidak terbatas jumlahnya unsur musik sebagai pengiringnya diantaranya musik terebang, terompet, kendang dan kecrek. adanya pasangan dalam permainan benjang sebagai lawan bertanding dimana wasit sebagai pengatur pertandingan untuk menentukan siapa kalah dan menang yang bergantung pada kekuatan si pemain tersebut lapangan yang diberi batas sebagaimana apabila pemain ke luar garis batas tersebut dinyatakan kalah.Benjang yang muncul pada tahun 1975 an di daerah Cinunuk menyebar samapi daerah Ujungberung memunculkan grup-grup benjang diantaranya dari kecamatan Cilengkrang grup mekar sari desa Giri Mekar, aneka warna Desa Cikalamiring , gelar putra Desa Jati Endah , mekar budaya Desa Cipareat. Menurut keterangan masyarakat Cinunuk yang pada saat itu masyarakat Cinunuk bermata pencaharian dari sawah dan palawija sering mengadakan syukuran sebagai hiburan menanggap kesenian seperti penca silat, reog, tanji sebagai prakarsa Mas Hasadikarta beliau mengundang para jawara silat untuk menunjukan kebolehannya . Benjang yang awalnya dilakukan oleh para buruh pabrik di lingkungan Cinunuk bermula dari permainan saling mendorong menggunakan halu ( bermula dari permainan dogong yang mempergunakan alat penumbuk padi ), yang berkembang menjadi permainan mengadu pundak saling berhadapan dengan lawan .

Perkembangan selanjutnya menjadi saling genjang dimana permainannya pemain memegang pinggang kemudian saling membanting bagi yang berhasil membanting lawan dan saling menindih lawannya dinyatakan menang pada tahap selanjutnya pertunjukan benjang dilengkapi dengan kuda lumping, dodombaan, seseroan dimana para pemainnya menjadi kesurupan. Gerak tari dalam benjang diantaranya gerak langkahan, gerak dorongan, gerak piting, gerak gitik. Pertunjukan kesenian tersebut biasanya diadakan pada hari besar seperti 17 Agustus , khitanan, perkawinan dll. Kostum yang dipakai biasanya baju bebas dan ikat kepala pemain musiknya biasanya memakai celana pangsi dan baju kampret.


Minggu, 26 Desember 2010

Reog (Ponorogo)
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Perubahan tertunda ditampilkan di halaman iniBelum Diperiksa
Langsung ke: navigasi, cari
Untuk kegunaan lain dari Reog, lihat Reog (Sunda).

Reog adalah salah satu kesenian budaya yang berasal dari Jawa Timur bagian barat-laut dan Ponorogo dianggap sebagai kota asal Reog yang sebenarnya. Gerbang kota Ponorogo dihiasi oleh sosok warok dan gemblak, dua sosok yang ikut tampil pada saat reog dipertunjukkan. Reog adalah salah satu budaya daerah di Indonesia yang masih sangat kental dengan hal-hal yang berbau mistik dan ilmu kebatinan yang kuat.
Daftar isi
[sembunyikan]

* 1 Sejarah
* 2 Pementasan Seni Reog
* 3 Kontroversi
* 4 Catatan dan referensi
* 5 Lihat pula
* 6 Pranala luar

[sunting] Sejarah
Pertunjukan reog di Ponorogo tahun 1920. Selain reog, terdapat pula penari kuda kepang dan bujangganong.

Pada dasarnya ada lima versi cerita populer yang berkembang di masyarakat tentang asal-usul Reog dan Warok [1], namun salah satu cerita yang paling terkenal adalah cerita tentang pemberontakan Ki Ageng Kutu, seorang abdi kerajaan pada masa Bhre Kertabhumi, Raja Majapahit terakhir yang berkuasa pada abad ke-15. Ki Ageng Kutu murka akan pengaruh kuat dari pihak rekan Cina rajanya dalam pemerintahan dan prilaku raja yang korup, ia pun melihat bahwa kekuasaan Kerajaan Majapahit akan berakhir. Ia lalu meninggalkan sang raja dan mendirikan perguruan dimana ia mengajar anak-anak muda seni bela diri, ilmu kekebalan diri, dan ilmu kesempurnaan dengan harapan bahwa anak-anak muda ini akan menjadi bibit dari kebangkitan lagi kerajaan Majapahit kelak. Sadar bahwa pasukannya terlalu kecil untuk melawan pasukan kerajaan maka pesan politis Ki Ageng Kutu disampaikan melalui pertunjukan seni Reog, yang merupakan "sindiran" kepada Raja Bra Kertabumi dan kerajaannya. Pagelaran Reog menjadi cara Ki Ageng Kutu membangun perlawanan masyarakat lokal menggunakan kepopuleran Reog.

Dalam pertunjukan Reog ditampilkan topeng berbentuk kepala singa yang dikenal sebagai "Singa Barong", raja hutan, yang menjadi simbol untuk Kertabumi, dan diatasnya ditancapkan bulu-bulu merak hingga menyerupai kipas raksasa yang menyimbolkan pengaruh kuat para rekan Cinanya yang mengatur dari atas segala gerak-geriknya. Jatilan, yang diperankan oleh kelompok penari gemblak yang menunggangi kuda-kudaan menjadi simbol kekuatan pasukan Kerajaan Majapahit yang menjadi perbandingan kontras dengan kekuatan warok, yang berada dibalik topeng badut merah yang menjadi simbol untuk Ki Ageng Kutu, sendirian dan menopang berat topeng singabarong yang mencapai lebih dari 50kg hanya dengan menggunakan giginya [2]. Populernya Reog Ki Ageng Kutu akhirnya menyebabkan Kertabumi mengambil tindakan dan menyerang perguruannya, pemberontakan oleh warok dengan cepat diatasi, dan perguruan dilarang untuk melanjutkan pengajaran akan warok. Namun murid-murid Ki Ageng kutu tetap melanjutkannya secara diam-diam. Walaupun begitu, kesenian Reognya sendiri masih diperbolehkan untuk dipentaskan karena sudah menjadi pertunjukan populer diantara masyarakat, namun jalan ceritanya memiliki alur baru dimana ditambahkan karakter-karakter dari cerita rakyat Ponorogo yaitu Kelono Sewondono, Dewi Songgolangit, and Sri Genthayu.

Versi resmi alur cerita Reog Ponorogo kini adalah cerita tentang Raja Ponorogo yang berniat melamar putri Kediri, Dewi Ragil Kuning, namun ditengah perjalanan ia dicegat oleh Raja Singabarong dari Kediri. Pasukan Raja Singabarong terdiri dari merak dan singa, sedangkan dari pihak Kerajaan Ponorogo Raja Kelono dan Wakilnya Bujanganom, dikawal oleh warok (pria berpakaian hitam-hitam dalam tariannya), dan warok ini memiliki ilmu hitam mematikan. Seluruh tariannya merupakan tarian perang antara Kerajaan Kediri dan Kerajaan Ponorogo, dan mengadu ilmu hitam antara keduanya, para penari dalam keadaan 'kerasukan' saat mementaskan tariannya [3] .

Hingga kini masyarakat Ponorogo hanya mengikuti apa yang menjadi warisan leluhur mereka sebagai pewarisan budaya yang sangat kaya. Dalam pengalamannya Seni Reog merupakan cipta kreasi manusia yang terbentuk adanya aliran kepercayaan yang ada secara turun temurun dan terjaga. Upacaranya pun menggunakan syarat-syarat yang tidak mudah bagi orang awam untuk memenuhinya tanpa adanya garis keturunan yang jelas. mereka menganut garis keturunan Parental dan hukum adat yang masih berlaku.
[sunting] Pementasan Seni Reog
Reog Ponorogo

Reog modern biasanya dipentaskan dalam beberapa peristiwa seperti pernikahan, khitanan dan hari-hari besar Nasional. Seni Reog Ponorogo terdiri dari beberapa rangkaian 2 sampai 3 tarian pembukaan. Tarian pertama biasanya dibawakan oleh 6-8 pria gagah berani dengan pakaian serba hitam, dengan muka dipoles warna merah. Para penari ini menggambarkan sosok singa yang pemberani. Berikutnya adalah tarian yang dibawakan oleh 6-8 gadis yang menaiki kuda. Pada reog tradisionil, penari ini biasanya diperankan oleh penari laki-laki yang berpakaian wanita. Tarian ini dinamakan tari jaran kepang, yang harus dibedakan dengan seni tari lain yaitu tari kuda lumping. Tarian pembukaan lainnya jika ada biasanya berupa tarian oleh anak kecil yang membawakan adegan lucu.

Setelah tarian pembukaan selesai, baru ditampilkan adegan inti yang isinya bergantung kondisi dimana seni reog ditampilkan. Jika berhubungan dengan pernikahan maka yang ditampilkan adalah adegan percintaan. Untuk hajatan khitanan atau sunatan, biasanya cerita pendekar,

Adegan dalam seni reog biasanya tidak mengikuti skenario yang tersusun rapi. Disini selalu ada interaksi antara pemain dan dalang (biasanya pemimpin rombongan) dan kadang-kadang dengan penonton. Terkadang seorang pemain yang sedang pentas dapat digantikan oleh pemain lain bila pemain tersebut kelelahan. Yang lebih dipentingkan dalam pementasan seni reog adalah memberikan kepuasan kepada penontonnya.

Adegan terakhir adalah singa barong, dimana pelaku memakai topeng berbentuk kepala singa dengan mahkota yang terbuat dari bulu burung merak. Berat topeng ini bisa mencapai 50-60 kg. Topeng yang berat ini dibawa oleh penarinya dengan gigi. Kemampuan untuk membawakan topeng ini selain diperoleh dengan latihan yang berat, juga dipercaya diproleh dengan latihan spiritual seperti puasa dan tapa.
[sunting] Kontroversi
Foto tari Barongan di situs resmi Malaysia, yang memicu kontroversi.

Tarian sejenis Reog Ponorogo yang ditarikan di Malaysia dinamakan Tari Barongan[4]. Tarian ini juga menggunakan topeng dadak merak, yaitu topeng berkepala harimau yang di atasnya terdapat bulu-bulu merak. Deskripsi dan foto tarian ini ditampilkan dalam situs resmi Kementrian Kebudayaan Kesenian dan Warisan Malaysia.

Kontroversi timbul karena pada topeng dadak merak di situs resmi tersebut terdapat tulisan "Malaysia",[5][6] dan diakui sebagai warisan masyarakat dari Batu Pahat, Johor dan Selangor, Malaysia. Hal ini memicu protes berbagai pihak di Indonesia, termasuk seniman Reog asal Ponorogo yang menyatakan bahwa hak cipta kesenian Reog telah dicatatkan dengan nomor 026377 tertanggal 11 Februari 2004, dan dengan demikian diketahui oleh Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia.[7] Ditemukan pula informasi bahwa dadak merak yang terlihat di situs resmi tersebut adalah buatan pengrajin Ponorogo.[8] Ribuan seniman Reog sempat berdemonstrasi di depan Kedutaan Malaysia di Jakarta.[9] Pemerintah Indonesia menyatakan akan meneliti lebih lanjut hal tersebut.[7]

Pada akhir November 2007, Duta Besar Malaysia untuk Indonesia Datuk Zainal Abidin Muhammad Zain menyatakan bahwa Pemerintah Malaysia tidak pernah mengklaim Reog Ponorogo sebagai budaya asli negara itu. Reog yang disebut “Barongan” di Malaysia dapat dijumpai di Johor dan Selangor, karena dibawa oleh rakyat Jawa yang merantau ke negeri tersebut [10].


Jaipongan adalah sebuah genre seni tari yang lahir dari kreativitas seorang seniman asal Bandung, Gugum Gumbira. Perhatiannya pada kesenian rakyat yang salah satunya adalah Ketuk Tilu menjadikannya mengetahui dan mengenal betul perbendaharan pola-pola gerak tari tradisi yang ada pada Kliningan/Bajidoran atau Ketuk Tilu. Gerak-gerak bukaan, pencugan, nibakeun dan beberapa ragam gerak mincid dari beberapa kesenian di atas cukup memiliki inspirasi untuk mengembangkan tari atau kesenian yang kini dikenal dengan nama Jaipongan.

Sebelum bentuk seni pertunjukan ini muncul, ada beberapa pengaruh yang melatarbelakangi bentuk tari pergaulan ini. Di Jawa Barat misalnya, tari pergaulan merupakan pengaruh dari Ball Room, yang biasanya dalam pertunjukan tari-tari pergaulan tak lepas dari keberadaan ronggeng dan pamogoran. Ronggeng dalam tari pergaulan tidak lagi berfungsi untuk kegiatan upacara, tetapi untuk hiburan atau cara gaul. Keberadaan ronggeng dalam seni pertunjukan memiliki daya tarik yang mengundang simpati kaum pamogoran. Misalnya pada tari Ketuk Tilu yang begitu dikenal oleh masyarakat Sunda, diperkirakan kesenian ini populer sekitar tahun 1916. Sebagai seni pertunjukan rakyat, kesenian ini hanya didukung oleh unsur-unsur sederhana, seperti waditra yang meliputi rebab, kendang, dua buah kulanter, tiga buah ketuk, dan gong. Demikian pula dengan gerak-gerak tarinya yang tidak memiliki pola gerak yang baku, kostum penari yang sederhana sebagai cerminan kerakyatan.

Seiring dengan memudarnya jenis kesenian di atas, mantan pamogoran (penonton yang berperan aktif dalam seni pertunjukan Ketuk Tilu/Doger/Tayub) beralih perhatiannya pada seni pertunjukan Kliningan, yang di daerah Pantai Utara Jawa Barat (Karawang, Bekasi, Purwakarta, Indramayu, dan Subang) dikenal dengan sebutan Kliningan Bajidoran yang pola tarinya maupun peristiwa pertunjukannya mempunyai kemiripan dengan kesenian sebelumnya (Ketuk Tilu/Doger/Tayub). Dalam pada itu, eksistensi tari-tarian dalam Topeng Banjet cukup digemari, khususnya di Karawang, di mana beberapa pola gerak Bajidoran diambil dari tarian dalam Topeng Banjet ini. Secara koreografis tarian itu masih menampakan pola-pola tradisi (Ketuk Tilu) yang mengandung unsur gerak-gerak bukaan, pencugan, nibakeun dan beberapa ragam gerak mincid yang pada gilirannya menjadi dasar penciptaan tari Jaipongan. Beberapa gerak-gerak dasar tari Jaipongan selain dari Ketuk Tilu, Ibing Bajidor serta Topeng Banjet adalah Tayuban dan Pencak Silat.

Kemunculan tarian karya Gugum Gumbira pada awalnya disebut Ketuk Tilu perkembangan, yang memang karena dasar tarian itu merupakan pengembangan dari Ketuk Tilu. Karya pertama Gugum Gumbira masih sangat kental dengan warna ibing Ketuk Tilu, baik dari segi koreografi maupun iringannya, yang kemudian tarian itu menjadi populer dengan sebutan Jaipongan.
[sunting] Berkembang

Karya Jaipongan pertama yang mulai dikenal oleh masyarakat adalah tari "Daun Pulus Keser Bojong" dan "Rendeng Bojong" yang keduanya merupakan jenis tari putri dan tari berpasangan (putra dan putri). Dari tarian itu muncul beberapa nama penari Jaipongan yang handal seperti Tati Saleh, Yeti Mamat, Eli Somali, dan Pepen Dedi Kurniadi. Awal kemunculan tarian tersebut sempat menjadi perbincangan, yang isu sentralnya adalah gerakan yang erotis dan vulgar. Namun dari ekspos beberapa media cetak, nama Gugum Gumbira mulai dikenal masyarakat, apalagi setelah tari Jaipongan pada tahun 1980 dipentaskan di TVRI stasiun pusat Jakarta. Dampak dari kepopuleran tersebut lebih meningkatkan frekuensi pertunjukan, baik di media televisi, hajatan maupun perayaan-perayaan yang diselenggarakan oleh pihak swasta dan pemerintah.

Kehadiran Jaipongan memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap para penggiat seni tari untuk lebih aktif lagi menggali jenis tarian rakyat yang sebelumnya kurang perhatian. Dengan munculnya tari Jaipongan, dimanfaatkan oleh para penggiat seni tari untuk menyelenggarakan kursus-kursus tari Jaipongan, dimanfaatkan pula oleh pengusaha pub-pub malam sebagai pemikat tamu undangan, dimana perkembangan lebih lanjut peluang usaha semacam ini dibentuk oleh para penggiat tari sebagai usaha pemberdayaan ekonomi dengan nama Sanggar Tari atau grup-grup di beberapa daerah wilayah Jawa Barat, misalnya di Subang dengan Jaipongan gaya "kaleran" (utara).

Ciri khas Jaipongan gaya kaleran, yakni keceriaan, erotis, humoris, semangat, spontanitas, dan kesederhanaan (alami, apa adanya). Hal itu tercermin dalam pola penyajian tari pada pertunjukannya, ada yang diberi pola (Ibing Pola) seperti pada seni Jaipongan yang ada di Bandung, juga ada pula tarian yang tidak dipola (Ibing Saka), misalnya pada seni Jaipongan Subang dan Karawang. Istilah ini dapat kita temui pada Jaipongan gaya kaleran, terutama di daerah Subang. Dalam penyajiannya, Jaipongan gaya kaleran ini, sebagai berikut: 1) Tatalu; 2) Kembang Gadung; 3) Buah Kawung Gopar; 4) Tari Pembukaan (Ibing Pola), biasanya dibawakan oleh penari tunggal atau Sinden Tatandakan (serang sinden tapi tidak bisa nyanyi melainkan menarikan lagu sinden/juru kawih); 5) Jeblokan dan Jabanan, merupakan bagian pertunjukan ketika para penonton (bajidor) sawer uang (jabanan) sambil salam tempel. Istilah jeblokan diartikan sebagai pasangan yang menetap antara sinden dan penonton (bajidor).

Perkembangan selanjutnya tari Jaipongan terjadi pada taahun 1980-1990-an, di mana Gugum Gumbira menciptakan tari lainnya seperti Toka-toka, Setra Sari, Sonteng, Pencug, Kuntul Mangut, Iring-iring Daun Puring, Rawayan, dan Tari Kawung Anten. Dari tarian-tarian tersebut muncul beberapa penari Jaipongan yang handal antara lain Iceu Effendi, Yumiati Mandiri, Miming Mintarsih, Nani, Erna, Mira Tejaningrum, Ine Dinar, Ega, Nuni, Cepy, Agah, Aa Suryabrata, dan Asep.

Dewasa ini tari Jaipongan boleh disebut sebagai salah satu identitas keseniaan Jawa Barat, hal ini nampak pada beberapa acara-acara penting yang berkenaan dengan tamu dari negara asing yang datang ke Jawa Barat, maka disambut dengan pertunjukan tari Jaipongan. Demikian pula dengan misi-misi kesenian ke manca negara senantiasa dilengkapi dengan tari Jaipongan. Tari Jaipongan banyak mempengaruhi kesenian-kesenian lain yang ada di masyarakat Jawa Barat, baik pada seni pertunjukan wayang, degung, genjring/terbangan, kacapi jaipong, dan hampir semua pertunjukan rakyat maupun pada musik dangdut modern yang dikolaborasikan dengan Jaipong menjadi kesenian Pong-Dut.Jaipongan yang telah diplopori oleh Mr. Nur & Leni


Jaipongan adalah sebuah genre seni tari yang lahir dari kreativitas seorang seniman asal Bandung, Gugum Gumbira. Perhatiannya pada kesenian rakyat yang salah satunya adalah Ketuk Tilu menjadikannya mengetahui dan mengenal betul perbendaharan pola-pola gerak tari tradisi yang ada pada Kliningan/Bajidoran atau Ketuk Tilu. Gerak-gerak bukaan, pencugan, nibakeun dan beberapa ragam gerak mincid dari beberapa kesenian di atas cukup memiliki inspirasi untuk mengembangkan tari atau kesenian yang kini dikenal dengan nama Jaipongan.

Sebelum bentuk seni pertunjukan ini muncul, ada beberapa pengaruh yang melatarbelakangi bentuk tari pergaulan ini. Di Jawa Barat misalnya, tari pergaulan merupakan pengaruh dari Ball Room, yang biasanya dalam pertunjukan tari-tari pergaulan tak lepas dari keberadaan ronggeng dan pamogoran. Ronggeng dalam tari pergaulan tidak lagi berfungsi untuk kegiatan upacara, tetapi untuk hiburan atau cara gaul. Keberadaan ronggeng dalam seni pertunjukan memiliki daya tarik yang mengundang simpati kaum pamogoran. Misalnya pada tari Ketuk Tilu yang begitu dikenal oleh masyarakat Sunda, diperkirakan kesenian ini populer sekitar tahun 1916. Sebagai seni pertunjukan rakyat, kesenian ini hanya didukung oleh unsur-unsur sederhana, seperti waditra yang meliputi rebab, kendang, dua buah kulanter, tiga buah ketuk, dan gong. Demikian pula dengan gerak-gerak tarinya yang tidak memiliki pola gerak yang baku, kostum penari yang sederhana sebagai cerminan kerakyatan.

Seiring dengan memudarnya jenis kesenian di atas, mantan pamogoran (penonton yang berperan aktif dalam seni pertunjukan Ketuk Tilu/Doger/Tayub) beralih perhatiannya pada seni pertunjukan Kliningan, yang di daerah Pantai Utara Jawa Barat (Karawang, Bekasi, Purwakarta, Indramayu, dan Subang) dikenal dengan sebutan Kliningan Bajidoran yang pola tarinya maupun peristiwa pertunjukannya mempunyai kemiripan dengan kesenian sebelumnya (Ketuk Tilu/Doger/Tayub). Dalam pada itu, eksistensi tari-tarian dalam Topeng Banjet cukup digemari, khususnya di Karawang, di mana beberapa pola gerak Bajidoran diambil dari tarian dalam Topeng Banjet ini. Secara koreografis tarian itu masih menampakan pola-pola tradisi (Ketuk Tilu) yang mengandung unsur gerak-gerak bukaan, pencugan, nibakeun dan beberapa ragam gerak mincid yang pada gilirannya menjadi dasar penciptaan tari Jaipongan. Beberapa gerak-gerak dasar tari Jaipongan selain dari Ketuk Tilu, Ibing Bajidor serta Topeng Banjet adalah Tayuban dan Pencak Silat.

Kemunculan tarian karya Gugum Gumbira pada awalnya disebut Ketuk Tilu perkembangan, yang memang karena dasar tarian itu merupakan pengembangan dari Ketuk Tilu. Karya pertama Gugum Gumbira masih sangat kental dengan warna ibing Ketuk Tilu, baik dari segi koreografi maupun iringannya, yang kemudian tarian itu menjadi populer dengan sebutan Jaipongan.
[sunting] Berkembang

Karya Jaipongan pertama yang mulai dikenal oleh masyarakat adalah tari "Daun Pulus Keser Bojong" dan "Rendeng Bojong" yang keduanya merupakan jenis tari putri dan tari berpasangan (putra dan putri). Dari tarian itu muncul beberapa nama penari Jaipongan yang handal seperti Tati Saleh, Yeti Mamat, Eli Somali, dan Pepen Dedi Kurniadi. Awal kemunculan tarian tersebut sempat menjadi perbincangan, yang isu sentralnya adalah gerakan yang erotis dan vulgar. Namun dari ekspos beberapa media cetak, nama Gugum Gumbira mulai dikenal masyarakat, apalagi setelah tari Jaipongan pada tahun 1980 dipentaskan di TVRI stasiun pusat Jakarta. Dampak dari kepopuleran tersebut lebih meningkatkan frekuensi pertunjukan, baik di media televisi, hajatan maupun perayaan-perayaan yang diselenggarakan oleh pihak swasta dan pemerintah.

Kehadiran Jaipongan memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap para penggiat seni tari untuk lebih aktif lagi menggali jenis tarian rakyat yang sebelumnya kurang perhatian. Dengan munculnya tari Jaipongan, dimanfaatkan oleh para penggiat seni tari untuk menyelenggarakan kursus-kursus tari Jaipongan, dimanfaatkan pula oleh pengusaha pub-pub malam sebagai pemikat tamu undangan, dimana perkembangan lebih lanjut peluang usaha semacam ini dibentuk oleh para penggiat tari sebagai usaha pemberdayaan ekonomi dengan nama Sanggar Tari atau grup-grup di beberapa daerah wilayah Jawa Barat, misalnya di Subang dengan Jaipongan gaya "kaleran" (utara).

Ciri khas Jaipongan gaya kaleran, yakni keceriaan, erotis, humoris, semangat, spontanitas, dan kesederhanaan (alami, apa adanya). Hal itu tercermin dalam pola penyajian tari pada pertunjukannya, ada yang diberi pola (Ibing Pola) seperti pada seni Jaipongan yang ada di Bandung, juga ada pula tarian yang tidak dipola (Ibing Saka), misalnya pada seni Jaipongan Subang dan Karawang. Istilah ini dapat kita temui pada Jaipongan gaya kaleran, terutama di daerah Subang. Dalam penyajiannya, Jaipongan gaya kaleran ini, sebagai berikut: 1) Tatalu; 2) Kembang Gadung; 3) Buah Kawung Gopar; 4) Tari Pembukaan (Ibing Pola), biasanya dibawakan oleh penari tunggal atau Sinden Tatandakan (serang sinden tapi tidak bisa nyanyi melainkan menarikan lagu sinden/juru kawih); 5) Jeblokan dan Jabanan, merupakan bagian pertunjukan ketika para penonton (bajidor) sawer uang (jabanan) sambil salam tempel. Istilah jeblokan diartikan sebagai pasangan yang menetap antara sinden dan penonton (bajidor).

Perkembangan selanjutnya tari Jaipongan terjadi pada taahun 1980-1990-an, di mana Gugum Gumbira menciptakan tari lainnya seperti Toka-toka, Setra Sari, Sonteng, Pencug, Kuntul Mangut, Iring-iring Daun Puring, Rawayan, dan Tari Kawung Anten. Dari tarian-tarian tersebut muncul beberapa penari Jaipongan yang handal antara lain Iceu Effendi, Yumiati Mandiri, Miming Mintarsih, Nani, Erna, Mira Tejaningrum, Ine Dinar, Ega, Nuni, Cepy, Agah, Aa Suryabrata, dan Asep.

Dewasa ini tari Jaipongan boleh disebut sebagai salah satu identitas keseniaan Jawa Barat, hal ini nampak pada beberapa acara-acara penting yang berkenaan dengan tamu dari negara asing yang datang ke Jawa Barat, maka disambut dengan pertunjukan tari Jaipongan. Demikian pula dengan misi-misi kesenian ke manca negara senantiasa dilengkapi dengan tari Jaipongan. Tari Jaipongan banyak mempengaruhi kesenian-kesenian lain yang ada di masyarakat Jawa Barat, baik pada seni pertunjukan wayang, degung, genjring/terbangan, kacapi jaipong, dan hampir semua pertunjukan rakyat maupun pada musik dangdut modern yang dikolaborasikan dengan Jaipong menjadi kesenian Pong-Dut.Jaipongan yang telah diplopori oleh Mr. Nur & Leni